MASJIDALMARKAZ.OR.ID, MAKASSAR – Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab atas rahmat dan ridha-Nya kita semua berada dalam keadaan sehat wal-afiat. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan berkah, karunia dan nikmat yang tiada pernah putus kepada kita semua. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW, dan semoga kita semua akan mendapatkan syafaat darinya di alam akhirat kelak nanti.
Mengawali khutbah Jumat hari ini perkenankanlah dengan segala kerendahan hati kami mengajak, mari kita senantiasa terus meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya takwa, yakni dengan berusaha sekuat tenaga menjalankan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.
يا معاشر المسلمين وزمرة المؤمنين رحمكم الله
Seandainya boleh memilih, barangkali di antara kita ada yang ingin sekali dilahirkan dan hidup di masa Nabi Muhammad SAW. Dengan begitu kita bisa melihat dan merasakan langsung akhlak mulia, sifat kasih sayang, welas asih, dan kelembutan dakwah sang penghulu rasul itu.
Namun Allah SWT berkehendak lain. Kita hidup lebih dari 14 abad setelah putra Abdulah bin Abdul Muthalib itu wafat. Namun kita patut bersyukut sebab umat yang lahir jauh setelah Nabi Muhammad wafat juga termasuk orang yang beruntung.
Rasulullah SAW bersabda, “Bahagialah bagi siapa yang melihat aku dan beriman kepadaku. Dan bahagia (pulalah) bagi siapa yang beriman kepadaku, padahal dia tidak melihat aku (tujuh kali).”
Beruntung juga meski tak hidup di masa Rasulullah, semua hal tentang Nabi Muhammad SAW, termasuk soal akhlak mulianya, sifat kasih sayang hingga kelembutan hatinya dalam berdakwah bisa kita temukan dalam Al-Qur’an, sejumlah hadits dan juga Sirah Nabawiyah.
Banyak ulama, ustaz, dan para kiai juga berbagi kisah tentang keluhuran akhlak dan budi pekerti Rasulullah SAW. Allah SWT menggambarkan akhlak Rasulullah SAW di dalam surat Al-Qalam ayat 4:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Allah SWT juga berfirman dalam Surat At Taubah ayat 128 sebagaimana khatib bacakan di awal:
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
Artinya: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim, suatu ketika Hisyam bin Amir bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Kanjeng Nabi Muhammad SAW. “Akhlak Nabi SAW adalah Al Quran.” Begitu jawab Aisyah.
Hindun bin Abu Halah yang merupakan anak Khadijah Ummul Mukminin sebagaimana ditulis dalam Sirah Nabawiyah karya Abdul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi menyebut, Rasulullah SAW adalah seorang yang penyayang.
Nabi Muhammad SAW tidak suka berkata kasar dan tidak suka menghina. Ali bin Abu Thalib menggambarkan, Rasulullah adalah orang yang berakhlak baik, mudah iba dan penuh kasih sayang dan tidak keras hati.
Menurut Ali, siapa pun yang melihat Rasulullah SAW, tanpa pikir panjang dia akan menghormatinya. “Beliau (Rasulullah SAW) paling baik hatinya, paling benar lisannya, paling lembut perangainya dan paling memuliakan keluarganya.” Begitu kata Ali sebagaimana disebutkan dalam Kitab asy-Syama-il karya Turmudzi.
Nabi Muhammad SAW tak punya sifat pendendam, tidak pernah membalas kejelekan dengan kejelekan, melainkan memaafkan dan menyalaminya. Perasaannya sangat halus. Salah satu buktinya adalah ketika pada suatu ketika saat Makkah sudah kembali ditaklukkan oleh umat Islam, ada seseorang bernama Wahsyi menghadap Rasulullah SAW.
Wahsyi adalah orang yang dengan licik dan keji membunuh paman Nabi Muhammad SAW, Hamzah bin Abdul Muthalib saat Perang Uhud. Setelah Makkah dikuasai umat Islam, Wahsyi tak tahu harus ke mana melarikan diri. Jalan satu-satunya adalah menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan masuk Islam.
Di depan Rasulullah SAW, Wahsyi menyatakan masuk Islam dan mengakui sebagai orang yang telah dengan keji membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Marahkah Rasulullah? Tidak.
“Sembunyikanlah wajahmu dariku sehingga aku tidak melihatmu.” Begitu kata Rasulullah kepada Wahsyi.
Pernah suatu ketika ada seorang pengemis Yahudi tua dan buta di pinggir pasar Kota Madinah. Tak ada satu pun orang lewat yang mau memberinya makan atau uang, kecuali Nabi Muhammad SAW.
Tak hanya memberi makan, setiap pagi Nabi Muhammad juga dengan lembut menyuapi si pengemis buta. Namun bukan ucapan terima kasih yang didapat Muhammad, melainkan hinaan dan cacian.
Pengemis itu mengajak orang yang menyuapinya untuk tidak mengikuti ajaran Muhammad SAW. Sebab menurut dia, Muhammad adalah tukang sihir dan pembohong. Rasulullah, yang sejak kecil memiliki akhlak mulia, tak marah, apalagi dendam kepada si pengemis.
Hingga akhirnya pada suatu pagi si pengemis merasakan adanya perbedaan suapan dari orang yang menyuapi. Dia sudah merasakan perbedaan dari langkah kaki, cara menyuapkan makanan hingga nada bicaranya.
Pagi itu memang bukan Nabi Muhammad SAW yang menyuapi si pengemis buta, melainkan Abu Bakar Ash Shiddiq. Nabi Muhammad SAW telah wafat, sehingga Abu Bakar yang kemudian menjadi khalifah ganti menyuapi si pengemis buta.
Begitu pengemis itu tahu bahwa selama ini yang menyuapinya adalah Muhammad, orang yang sering dia hina, dia pun menangis dan menyesal. Penyesalannya pun bertambah manakala tahu bahwa lelaki berakhlak mulia yang lembut itu telah berpulang ke Rahmatullah. Pada akhirnya si pengemis itu masuk Islam dengan kemuliaan akhlak Rasulullah SAW.
Sekarang setelah Rasulullah SAW tak ada, umat ini butuh tauladan. Kepada para da’i, ustaz, ulama, kiai dan para tokoh agama kita berharap, “Tolong ‘hadirkan’ kembali akhlak mulia Rasulullah SAW”. (*)