Dr. Muhammad Sabiq (Sosiolog Universitas Hasanuddin)
Masyarakat muslim saat ini masih banyak yang tengah mengalami krisis multidimensi. Banyak faktor yang menyebabkan, diantaranya adalah mentalitas dan karakter pribadi yang kurang mementingkan hubungan transendentalnya dengan Tuhan, sehingga perilaku buruk merajalela dan seakan-akan sudah menjadi budaya yang sulit untuk dihilangkan. Buruknya hubungan dengan Tuhan juga berimplikasi pada ketidak salehan sosial, yaitu memunculkan penyimpangan-penyimpangan sosial. Allah Swt. berfirman:
وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ
“Janganlah kamu seperti orang-orang yang melupakan Allah sehingga Dia menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.”
Kondisi demikian tidak terlepas dari pengaruh globalisasi yang semakin menggurita, menggerus kearifan lokal bangsa Indonesia. Globalisasi ini ditandai dengan terjadinya ledakan informasi di berbagai penjuru dunia. Perkembangan ini telah mendorong umat manusia untuk selalu bersiap diri dengan berbagai kemungkinan yang diakibatkan kuatnya gelombang informasi tersebut. Proses informasi yang cepat semakin membuat horizon kehidupan di dunia semakin meluas dan sekaligus dunia ini semakin mengerut. Hal ini berarti berbagai permasalahan kehidupan manusia menjadi masalah global atau setidak-tidaknya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kejadian di belahan bumi yang lain, baik masalah politik, ekonomi, maupun sosial.
Globalisasi menjadikan kebudayaan Barat sebagai trend kebudayaan dunia. Kebudayaan Barat yang didominasi budaya Amerika yang sarat dengan konsumerisme, hedonisme dan materialisme menjadi kebudayaan global dan kiblat bagi kebudayaan-kebudayaan di negara-negara berkembang. Budaya global ini melanda dunia ditandai dengan hegemonisasi gaya hidup (life style). Padahal tersebut adalah sesuatu yang dilarang dalam agama ini karena hal tersebut termasuk dalam kategori tabzir, sebagaimana Firman Allah Swt.:
۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
“Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.”
Bersamaan dengan itu, era modern telah melahirkan banyak kreasi berbagai fasilitas untuk mempermudah memenuhi kebutuhan manusia. Fasilitas dan peralatan yang canggih hasil kreasi manusia itu mengalirkan nilai-nilai baru dari luar, yaitu peredaran dan pertukaran kebudayaan. Firman Allah Swt.:
… ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاۤءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ
… Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.
Derasnya globalisasi ini sangat dikhawatirkan dapat mengakibatkan terkikisnya kecintaan generasi muda pada bangsa dan negara yang kian hari kian memudar dan menjadikan mereka tidak lagi bangga dengan kearifan lokalnya. Oleh karena itu penguatan budaya Islam sangat penting diberikan kepada masyarakat untuk membangun local wisdom (kearifan lokal), karena budaya Islam di Indonesia sejadinya kearifan lokal itu sendiri. Karena nilai-nilai Islam telah terintegrasi sejak lama dengan kehidupan masyarakat setempat dan dipraktekkan serta diturunkan secara turun-temurun. Firman Allah Swt
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجٰهِلِيْنَ
Jadilah pemaaf, perintahlah (orang-orang) pada yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh.
Dari ayat diatas makna urf dalam hal ini bermakna pada kewajiban menjadikan adat manusia sebagai sandaran, dan apa-apa yang menjadi kebiasaan dalam muamalat mereka, maka ini secara eksplisit melegitimasi penggunaan urf sebagai landasan. Kemudian Ibnu Faras dalam kitabnya ahkamul qur’an berkata: maksud dari firman Allah “wa’mur bil urf” yakni ma’ruf menurut sebagian banyak orang, yang tidak bertentangan dengan syara’.
Maka tak heran, jika globalisasi dianggap sebagai dewa penolong ketika kearifan lokal (local wisdom) tak mampu mengubah mindset dan horizon harapan bangsa ini. Sehingga ketika memasuki millenium kedua ini, bangsa kita masih saja pada posisi euphoria globalisasi. Dimana segalanya ingin diperoleh secara praktis dan instan, sehingga menafikan nilai kejujuran, amanah, kerjasama hingga hubungan sosial. Siapa lagi yang bisa menolong kita dari perangkap globalisasi? Kalau bukan agama dan kearifan lokal?
Pendidikan Islam yang berakar pada budaya tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis atau suatu masyarakat tertentu.
Konsep yang memperkuat relasi yang kuat antara agama dengan budaya bahkan tidak dapat dipisahkan yaitu, pola agama mentranformasikan pengetahuan dengan budaya bahasa yang dipergunakan oleh Nabi, misal: Ibrahim diutus tentu dakwa agama sesuai dengan bahasa Ibrahim saat itu yang kemungkinan kita tahu bahwa bahasa ibrani. Begitupula muhammad saw. bahasa yang dipergunakan adalah budaya bahasa arab maka al-Quran berbentuk bahasa Arab. Ini sesuai dengan ayat al-Quran:
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)الشعاراء أيضا وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (4) إبراهيم
Bahkan para kalangan ulama Ketika melihat teks al-Quran dan berupaya memahami dan mengimplementasikannya pada budaya tertentu, maka selama tidak bertentangan dengan agama maka hal itu boleh-boleh saja dipraktekkan.
Maka dari itu kearifan lokal yang berakar pada budaya Islam, diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri, percaya diri dan membangun peradaban yang akan menjadi warisan monumental. Akan tetapi dalam hal ini bukan berarti kita menjadi orang-orang yang anti kemodernan, perubahan, reformasi dan menolak begitu saja arus transformasi budaya dari luar tanpa melakukan seleksi dan alasan yang kuat.
Karifan lokal dari budaya Islam berpotensi untuk membentuk karakter jati diri bangsa dalam penguatan kebangsaan dan nasionalisme. Mengingat bahwa budaya islam di Indonesia berangkat dari ikhtiar para pendahulu untuk mengejawantahkan nilai-nilai agama yang disesuaikan dengan karakter masyarakat Indonesia namun tidak melanggar syariat. Sehingga terbentuk sistem nilai, sistem ekspresi dan sistem produksi yang menjadi kearifan lokal dan tercermin dalam kebudayaan nasional.
Demikian juga halnya dengan daerah Sulawesi Selatan telah melahirkan kearifan lokal tentang tata nilai dan norma-norma yang terwujud dalam tingkah laku dan interaksi antar sesama manusia dan juga dengan alam lingkungannya berdasarkan nilai-nilai Islam. Melemahnya budaya Islam dan kearifan lokal berimplilasi pada meningkatnya kasus kriminalitas di masyarakat terutama, pencurian, begal, pembunuhan, pemerkosaan dan sebagainya. Kriminalitas bukan sebab, namun salah satunya disebabkan oleh lunturnya kearifan lokal yang selama ini menjaga masyarakat untuk hidup rukun dan damai. Budaya Islam yang terdapat dalam kearifan lokal seperti menjaga persaudaraan, hidup bermasyarakat dan tolong menolong sudah menjadi sesuatu yang sangat langka.
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (2) المائدة
Sebagai kesimpulan, kearifan lokal yang terbangun dari budaya Islam dan begitupun kearifan lokal yang terbangun dari luar islam namun tidak bertentangan dengan syariat islam dapat diterima dan diaplikasikan oleh ummat islam sehingga dapat membentuk kehidupan masyarakat yang rukun dan damai. Dengan menguatnya kearifan lokal, akan dengan sendirinya dapat menyaring bahkan membendung penetrasi budaya luar yang berdampak buruk bagi bangsa.
Tokko sipakalebbi mali sipakainge
Barakallahu …li walakum filqurani karim…….