Oleh : Dr. H. Firdaus Muhammad, MA (Pembina Pesantren An-Nahdlah dan Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar)
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
PANCASILA bagi Masyarakat Indonesia merupakan dasar negara, ideologi dalam konteks bernegara. Pembangunan bangsa senantiasa selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila sebagai jati diri bangsa yang membedakan dengan negara lain. Pendiri bangsa ini sangat bijak dalam merancang bangunan bangsa sebagai kalimatun sawa, perekat anak bangsa yang memiliki latar budaya yang berbeda-beda tetap menyatu sebagai bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai kalimatun sawa dimaknai, titik temu seluruh keberagaman di Indonesia menjadi satu menuju kejayaan bangsa dan negeri. Menjaga Pancasila adalah dalam rangka membangun peradaban. Pancasila sebagai kalimatun sawa’ (common platform) yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya dan agama. Meskipun pada awal Indonesia merdeka terjadi perdebatan panjang tentang ideologi negara, namun founding fathers menemukan titik temu pada sebuah terminologi bernama Pancasila.
Pancasila selaras dengan ajaran Islam. Tidak ada hal yang bertentangan. Jika ada yang mempertentangkan antara Pancasila dan Islam, maka dipastikan salah dalam memahaminya dalam konteks ideologi bangsa yang dibenturkan dengan ajaran Islam. Para ulama dan cendekiawan muslim meletakkan Pancasila sebagai kalimatun sawa, menjadi titik temu yang menyatukan pelbagai keragaman dan perbedaan. Bhinneka Tunggal Ika seperti dicita-citakan para pendiri bangsa.
Istilah “kalimatun sawa” bagi umat Islam, merupakan istilah baku yang secara tegas disebutkan Al-Quran. Yakni, dalam surat Ali Imran ayat 64. Allah berfirman:
Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah.
Syekh Nawawi al-Bantani, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa konteks ayat itu diturunkan kepada kaum Nasrani Najran dan Yahudi Madinah yang menolak ajakan Rasulullah Saw memeluk Islam. Mereka terus berdalih dengan menyampaikan segala dalil, juga tak mau membayar jizyah atau pajak, mereka membangkang. Maka Rasulullah sebagai kepala negara menangani perselisihan itu untuk mencari jalan keluarnya. Maka turunlah perintah Allah agar meninggalkan perdebatan dan mencari titik temu sebagai jalan tengah. Titik temu inilah yang kemudian disebut kalimatun sawa atau atau kesepakatan bersama.
Artinya, Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh komponen bangsa. Dengan latar belakang agama, suku, dan budaya yang berbeda, kesepakatan itu dibangun oleh para pendiri bangsa demi keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pandangan-pandangan yang demikian menjadi spirit membangun bangsa.
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Di kalangan umat Islam, pada dekade 1980-an, mengalami dilema ideologis ketika pemerintahan Orde Baru dibawah kendali Presiden Suharto memberlakukan kebijakan penerapan asas tunggal bagi seluruh ormas dan partai politik. Pancasila harus menjadi satu-satunya ideologi. Tak ada pilihan lain, Pancasila sebagai azas Tunggal.
Konstitusi itu telah ditetapkan melalui UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Nahdlatul Ulama (NU) justru telah terlebih dahulu menerima Pancasila sebagai asas sebelum UU itu diterapkan. Keputusan fundamental tersebut ditetapkan pada Muktamar NU di Situbondo (1984), setelah tahun sebelumnya melalui Munas Alim Ulama di tempat yang sama dirumuskan Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam. Muhammadiyah pada tahun 1986 juga menerima Pancasila sebagai ideologi negara.
Ketetapan dua ormas terbesar itu menjadi tonggak penting dalam kerangka mengokohkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Juga demi keutuhan bangsa. Bagi NU, negara berdasarkan Pancasila merupakan perwujudan dari Mu’hadah Wathniyah (perjanjian kebangsaan). Muhammadiyah menyebutnya sebagai Drul ‘Ahdi was-Syahdah yaitu negara perjanjian dan kesaksian.
Kepeloporan NU dan Muhammadiyah itu menjadi contoh terbaik, menempatkan Pancasila sejalan prinsip dan landasan keagamaan. Tentunya keteladanan NU dan Muhammadiyah di dalam mengokohkan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara, keduanya merupakan ormas besar yang sangat berpengaruh, sejatinya diteladani ormas-ormas lainnya. NU dan Muhammadiyah membentangkan hubungan antara agama dan negara yang harus saling menopang (komplementer).
Kontribusi besar di balik keputusan fundamental NU misalnya, melahirkan perubahan mendasar pun dilakukan, khususnya berkaitan dengan orientasi politik kebangsaan dan komitmen kerakyatan.
Dalam konteks pembangunan bangsa ke depan, Pancasila senantiasa menjadi dasar dalam bernegara selaras dengan masyarakatnya yang relegius sehingga terwujud baldatun warabbun ghafur.
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Negara ini dapat diibaratkan perahu besar yang dipenuhi penumpang. Maka keselamatan penumpang merupakan tanggung jawab Bersama, jika ada penumpang yang makar, selalu berniat membocorkan perahu, maka dia merupakan ancaman. Mengancam keselamatan seluruh penumpang. Demikianhalnya, negara yang besar ini hadir warganya yang antipancasila, maka keutuhan NKRI terancam, Pancasila sebagai kalimatun sawa tidak berarti lagi.
Sesungguhnya posisi Pancasila sebagai dasar negara sudah final, namun sejak Reformasi bergulir kembali dipertentangkan posisi Pancasila dan konteks relasi agama dan negara. Saat yang sama, Pendidikan terkait Pancasila sebagai ideologi makin tergerus, termasuk di Lembaga Pendidikan.
Hadirin Jamaah Jumat Rahimakumullah
Ancaman ke depan jika generasi muda yang terpelajar tidak memiliki jiwa pancasilais akibat minimnya literasi kebangsaan, terutama Pancasila. Saat bersamaan, akses informasi yang demikian terbuka memberi peluang mereka mengadopsi ideologi-ideologi kiri atau ideologi kanan dari negara-negara tertentu yang tidak selaras dengan ideologi Pancasila. Tentu ini ancaman yang meniscayakan kita semua turut berperan.
Selain generasi muda, para elite politikpun tidak sepenuhnya digaransi sebagai tokoh yang Pancasilais. Tampak dari cara mereka memutuskan kebijakan dengan segenap kewenangan yang dimiliki tapi sera substasi tidak mencerminkan jiwa Pancasilais. Seorang koruptor jelas