Oleh : Prof. Dr. H. Firdaus Muhammad, MA
BANGSA Indonesia baru saja melakukan pesta demokrasi melalui Pemilu 2024. Pemilu merupakan jalan konstitusional dalam memilih pemimpin bangsa, setiap masyarakat yang memiliki hak memilih tetah menentukan pilihannya, siapapun kelak ditetapkan sebagai pemenang yang mendapat legitimasi rakyat memimpin negeri ini, pemimpin yang memilki tanggung jawab untuk memimpin seluruh rakyat Indonesia tanpa mengenal pedukung atau bukan. Setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya. Setiap memimpin menjadi teladan.
Dalam konteks ini, kita sebagai umat Islam, warga beragama senatiasa menjadikan sosok Rasulullah SAW sebagai teladanan dalam kehidupan kita, baik individual, keluarga maupun bernegara. Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang memberi contoh teladanan. Kepemimpinan nabi berpijak baik pada landasan agama juga menjadikan jalan politik sebagai strategi kepimpinannya sehingga Islam jaya. Politik dijadikan jalan untuk kepentingan agama dan negara, bukan sebaliknya, agama dijadikan sebagai alat politik untuk mendapatkan kekuasaan secara pragmatis.
Keteladanan kepemimpinan Rasulullah SAW berpijak pada 4 pondasi yang patut dicontoh pemimpin saat ini.
- Pemimpin Amanah
- Pemimpin Siddiq
- Pemimpin Fatahanah
- Pemimpin Tabliqh
Pertama, pemimpin yang amanah adalah pemimpin dengan kepercayaan tinggi, bertanggung jawab. Memiliki kepedulian pada umat, berbuat semata tujuannya agar masyarakatnya sejahtera, terjamin keamanannya sehingga mendapatkan kehidupan yang tenang dalam beribadah dan bekerja untuk keluarganya. Pemimpin yang amanah sebagaimana diteladankan nabi, mendahulukan kebutuhan masyarakat terpenuhi daripada dirinya. Kadang nabi, setelah rapat bersama para sahabat ihwal kehidupan masyarakat, sementara nabi sendiri kala kembali ke rumah lalu bertanya pada istrinya, wahai aisyah, apakaha ada makanan hari ini. Sang istri menjawab tidak ada yang rasulullah. Kemudian Nabi menimpalinya, kalau begitu saya akan puasa. Berpuasa karena tidak ada makanan. Seorang pemimpin, seorang nabi kelaparan. Mementingkan umatnya dibanding dirinya.
Kedua, pemimpin yang siddiq adalah pemimpin yang jujur. Nabi sejak kecil dikenal jujur sehingga diberi gelar al-amin. Modal kepemimpinan nabi adalah kepercayaan. Demikianhalnya, seorang pemimpin harus jujur. Kehormatan seorang pemimpin bukan pada jabatan dan kekuasaannya, tapi pada prosesnya, bagaimana cara yang ditempuhnya untuk meraih jabatan itu, benar atau tidak, diridhai Allah atau sebaliknya. Apabila seorang pemimpin terpilih dengan kecurangan maka rakyatnya yang lebih awal mengalami penderitaan. Kepercayaan masyarakat menjadi modal utama seorang pemimpin.
Ketiga, pemimpin yang fatanah. Cerdas secara spiritual, emosional dan intekektual. Nabi merupakan sosok yang cerdas. Kala meyakini dirinya menjadi target pembunuhan kafir quraisy, nabi mengambil strategi cukup cerdas dan menjadi penentu masa depan umat Islam. Nabi hijrah hanya didampingi Abu Akar Assiddiq, tidak bergabung dengah dengan rombongan umat Islam lainnya yang dalam perjalanan hijrah ke Madinah sebab Nabi menyadari, jika ikut rombongan sementara dirinya menjadi target pembunuhan, maka dipastikan kafir Quraish mengepungnya lalu menghabisi rombongan tersebut, jika itu terjadi Islam berakhir riwayatnya saat tu juga. Tapi dengan kecerdasan Nabi, perjalanan hijrahnya Nabi dan para sahabat berjalan lancar sekalipun penuh tantangan.
Keempat, pemimpin yang memiliki kemampuan bericara, bukan hanya retoris, tetapi memiliki pola komunikasi yang dicontohkan al-Qur’an. Misal, qaul kariman, qaul layyinan, qaulan maysura, qaul balighan hingga ahsanul qaul.
Rasulullah merupakan teladan yang paripurna, kepemimpinannya senantiasa dalam bimbingan wahyu. Selebihnya atas inisiatifnya serta hasil musyawarah dengan para sahabat. Nabi memiliki karakter kepemimpinan yang senantiasa relevan dan kondisi apapun, termasuk di Indonesia.
Karakter kepemimpinan nabi diantaranya:
- Musyawarah
- Kpentingan bersama
- Bijaksana
- Tawadhu, rendah hati
- Akhlaqul karimah
Hal tertinggi bagi seoramng pemimpin adalah memiliki etika, akhlaqul karimah. Nabi menjadi pemimpin tujuannya untuk menyempurnakan akhlak. Satunya perkataan dan perbuatan. Seorang pemimpin harus memiliki karakter. Mendahulukan musyawarah agar tidak menjadi pemimpin otoriter dan diktator. Musyawarah daah ikhtiar membangun konsensus, kesepakatan untuk kemalasahatan bersama. Sedikitpun nabi tidak mencontohkan kepemimpinan otoriter, nepotis.
Seoramg pemimpin seperti dicontohkan nabi, mendahulukan kepentingan bersama. Pikirannya semata bagaimana umatnya sejahtera, diperlakukan secara adil, tidak diskriminatif, senantiasa mendahulukan kepentingan bersama. Karenanya ia senantiasa menjadi bijak. Tidak pernah membedakan status sosial siapapun, memimpin dengan mengedepankan keseteraan, semua manusia diperlakukan sama sebab nilai satu manusia sama denga manusia keseluruhannya.
Terakhir, nabi adalah sosok pemimpin yang tawadhu. Sekalipun memiliki posisi dengan pemimpin tertinggi, seorang nabi dan pemimpin negara, namun nabi selalu bersikap tawadhu. Menghormati orang lain bukanlah tindakan merendahkan martabat kita melainkan justru mencerminkan etika dan akhlaqul karimah. Demikianlah cerminan kepemimpinan nabi yang patut kita teladani di tngah ikhtiar kita memilih pemimpin yang diharapkan memberikan kebaikan untuk negeri ini. Semoga pemimpin pilihan rakyat menjaga amanah mewujudkan negeri baldatun warabbun ghafur. Insya Allah.
Prof. Dr. H. Firdaus Muhammad, MA, Pembina Pesantren An Nahdlah Makassar dan Guru Besar Komunikasi Politik Islam pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar