Oleh : Dr. H. Andi Muhammad Akmal, S.Ag. M.H.I.
SEBAGAI konsekuensi dari kehadiran manusia di dunia, setiap orang ingin selalu memperoleh kecukupan materi. Namun, pada kenyataannya, tidak semua orang dapat memenuhi kecukupan materi secara layak. Bahkan banyak di antara mereka adalah fakir dan miskin Memang, jika harus memilih, tidak seorangpun yang bercita-cita ingin hidup miskin. Oleh karena itu, mereka dari segi ekonomi yang secara umum dikenal dengan kaum miskin atau kemiskinan ditengarai umurnya sudah sangat tua sejalan dengan sejarah manusia di muka bumi ini. Dalam struktur manusia manapun, kelompok fakir miskin akan selalu ada.
Oleh karenanya, mereka harus mendapatkan perhatian, baik oleh mereka yang kaya, lembaga sosial masyarakat atau pemerintah, bukan malah dijadikan sebagai komoditas atau dieksploitasi untuk kepentingan pribadi atau golongan. Seorang ilmuan besar Prof. Muhammad Farid Wajdi, sebagaimana dikutip oleh Al-Qaradhawi, mengatakan pada bangsa manapun jika diteliti hanya ada dua golongan manusia dan tidak ada ketiganya, yakni golongan yang berkecukupan yang dan golongan yang melarat bahkan lebih dari itu, golongan yang berkecukupan akan semakin makmur tak terbatas, sedangkan golongan yang miskin akan semakin melarat, sehingga seakan-akan tercampak ke tanah.
Islam datang untuk memberikan pencerahan serta penjelasan menyangkut kedua golongan tersebut. Kaya dan miskin, bahkan keberpihakan kepada kaum lemah bukan hanya monopoli agama Islam, akan tetapi juga menjadi perhatian seluruh penganut agama, sebab jika kehadiran sebuah agama tidak bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia, maka agama seperti ini tidak dibutuhkan oleh manusia.
Sebagai umat Islam, tentu sering mendengar istilah dhuafa. Secara bahasa, dhuafa memiliki arti lemah atau tidak berdaya. Menurut istilah, dhuafa juga memiliki arti sebagai orang yang hidup dalam kesengsaraan, kelemahan, ketidakberdayaan dan kemiskinan sehingga membutuhkan pertolongan orang lain untuk tetap bisa hidup. Mereka adalah orang-orang yang lemah dari aspek fisik, harta, ataupun psikis.
Term Dhuafa dalam Al-Quran
Dalam Al-Quran, kata dhuafa juga berasal dari dha’ufa yang merupakan bentuk plural dari kata dha’if. Makna kata lemah ini menyangkut lemah dalam aspek kesejahteraan atau finansial. Kata ini seperti yang terdapat dalam ayat berikut,
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Terjemahnya :
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah (dhi’afan) , yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”(QS An-Nisaa’: 9)
Dalam ayat lainnya, kata dhuafa juga terdapat dalam QS Al-Qasas ayat 4.
اِنَّ فِرْعَوْنَ عَلَا فِى الْاَرْضِ وَجَعَلَ اَهْلَهَا شِيَعًا يَّسْتَضْعِفُ طَاۤىِٕفَةً مِّنْهُمْ يُذَبِّحُ اَبْنَاۤءَهُمْ وَيَسْتَحْيٖ نِسَاۤءَهُمْ ۗاِنَّهٗ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِيْنَ
Terjemahnya :
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak lakilaki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir’aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Dalam ayat tersebut, dapat dipahami bahwa dhuafa juga bisa berarti sebagai kaum yang lemah karena terlahir akibat penindasan atau kesewenang-wenangan adanya penguasa atau sistem yang tidak adil. Akibatnya, masyarakat yang lemah tersebut menjadi miskin secara struktural. Muncul banyaknya anak yatim, kaum miskin, gelandangan, atau pengemis di jalanan.
Perintah menyantuni kaum dhuafa secara tegas diungkap dalam ayat Al Quran, seperti surah Al Isra ayat 26-27, surat Al Baqarah ayat 177, surah at Taubah ayat 71 :
Surat Al Isra ayat 26-27
وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا
Terjemahnya :
“Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu itu sangat inkar kepada Tuhannya.”
Surat Al Baqarah ayat 177
۞ لَيْسَ الْبِرَّاَنْ تُوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلٰكِنَّ الْبِرَّ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَالْمَلٰۤىِٕكَةِ وَالْكِتٰبِ وَالنَّبِيّٖنَ ۚ وَاٰتَى الْمَالَ عَلٰى حُبِّهٖ ذَوِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِۙ وَالسَّاۤىِٕلِيْنَ وَفىِ الرِّقَابِۚ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ ۚ وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا ۚ وَالصّٰبِرِيْنَ فِى الْبَأْسَاۤءِ وَالضَّرَّاۤءِ وَحِيْنَ الْبَأْسِۗ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ صَدَقُوْا ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُتَّقُوْنَ
Terjemahnya :
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
Surat At Taubah ayat 71,
وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Terjemahnya :
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana,”
Dengan memulai kebaikan, tolong menolong yang diberikan pada orang lain dapat menularkan kebaikan tersebut bagi masyarakat sekitar. Selain itu, dengan menolong sesama muslim juga dapat memperkuat persaudaraan dan menciptakan kerukunan satu sama lainnya.
Untuk orang yang sudah menerapkan perintah menyantuni kaum dhuafa, dimungkinkan dapat menjadi pribadi yang lebih bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada Allah swt. sekaligus meningkatkan rasa kepedulian sosial bagi dirinya.
Term Duafa dalam hadis Rasulullah saw
Definisi dhuafa telah dinyatakan dalam salah satu sabda Rasulullah saw. Dari Abu Darda, Rasulullah saw bersabda,
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْغُوْنِي الضُّعَفَاءَ، فَإِنَّمَا تُرْزَقُوْنَ وَتُنْصَرُوْنَ بِضُعَفَائِكُمْ (رواه أبو داود)
Artinya: “Carilah keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang lemah, karena kalian diberi rezeki dan ditolong disebabkan orang-orang lemah di antara kalian,” (HR Abu Dawud).
Konteks lemah bagi kaum dhuafa ini bukan berarti mereka enggan berusaha atau pun malas. Sebaliknya, lemah ini diakibatkan dari kesulitan yang dihadapinya hingga membuat mereka tidak punya pilihan lain selain bergantung pada bantuan orang lain.
Islam juga mengajarkan umatnya untuk saling membantu sesama muslim. Umat Islam sudah sepatutnya senantiasa bermanfaat untuk orang lain dengan menolong mereka yang membutuhkan.
Siapa yang Termasuk Golongan Dhuafa?
Di dalam Al-Quran terdapat beberapa orang yang disebutkan dan termasuk ke dalam golongan kaum dhuafa. Golongan ini perlu umat Islam ketahui agar tidak khilaf memahami tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan dhuafa. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
Orang-orang miskin
Orang-orang miskin adalah mereka yang jelas-jelas kekurangan secara harta atau finansial untuk memenuhi kebutuhan pokok dalam hidupnya. Mereka lemah karena ketidakmampuan mereka mendapatkan harta. Orang-orang ini berhak dibantu dan mendapatkan zakat atau sedekah. Orang miskin juga termasuk ke dalam 8 golongan yang berhak untuk menerima zakat. dan orang-orang yang berhak mendapatkan fidyah
Hamba sahaya atau orang dalam tahanan atau tawanan
Di masa kini, hamba sahaya memang sudah jarang terdengar. Namun hamba sahaya ini bisa berarti sebagai budak yang tidak memiliki kebebasan, orang yang dalam tahanan atau tawanan bukan karena kesalahan namun karena kezaliman orang lain. Mereka ini bisa tergolong sebagai dhuafa, yang lemah dan tidak berdaya secara fisik, finansial atau psikisnya.
Kaum difabel atau cacat fisik
Kaum difabel atau yang mengalami cacat fisik, biasanya mengalami kendala atau keterbatasan untuk mendapatkan penghasilan, apalagi jika tidak didukung oleh keluarganya juga. Untuk itu, mereka yang lemah dalam aspek fisik ini termasuk ke dalam golongan dhuafa yang wajib dibantu.
Orang lanjut usia
Orang lanjut usia, biasanya sudah mengalami kelemahaan secara fisik dan psikis. Mereka sudah tidak mampu lagi bekerja dan wajib dibantu secara finansial dan kebutuhan pokoknya. Untuk itu, sedekah untuk dhuafa lanjut usia juga sangat baik, terlebih kita memperlakukan memereka selayaknya orang tua sendiri.
Janda miskin
Janda adalah perempuan yang sudah ditinggal wafat oleh suaminya. Dalam kondisi tertentu, janda yang lemah biasanya tidak memiliki sumber penghasilan, memiliki tanggungan anak-anak, sedangkan pemberi nafkah sudah tidak ada lagi untuk membantu kehidupannya. Perempuan seperti ini masuk ke dalam golongan dhuafa yang bisa dibantu melalui sedekah.
Orang dengan penyakit tertentu
Orang yang memiliki penyakit tertentu termasuk dalam dhuafa yang lemah secara fisik dan tentu membutuhkan bantuan untuk bisa sembuh dari penyakitnya. Apalagi jika termasuk ke dalam golongan keluarga miskin yang kesulitan dari aspek ekonomi.
Buruh atau pekerja kasar
Buruh atau pekerja kasar biasanya adalah mereka yang bekerja dengan kekuatan fisik dan dalam waktu yang lama, namun secara penghasilan masih kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Mereka yang seperti ini bisa tergolong kaum dhuafa dan membutuhkan bantuan agar lebih berdaya.
Rakyat kecil yang termarginalkan
Rakyat kecil yang termarginalkan ini misalnya seperti saudara-saudara kita yang ada di Palestina. Mereka sebagai masyarakat yang negaranya terjajah, tidak memiliki kemerdekaan, dan membutuhkan bantuan untuk bisa terbebas. Untuk itu, rakyat kecil yang tertindas bisa termasuk pada kaum dhuafa.
Korban Bencana
Korban bencana bisa masuk dalam kaum dhuafa. Mereka adalah orang-orang yang kehilangan banyak harta benda, kehilangan tempat tinggal bahkan segala hal yang dimiliki. Untuk itu, para korban bencana bisa termasuk ke dalam kaum dhuafa karena lemah secara finansial. Bahkan ada juga korban bencana yang terancam nyama dan memiliki trauma, sehingga mereka lemah dalam aspek fisik dan psikis juga.
Rasulullah membersamai orang yang peduli kaum lemah di akhirat. Orang-orang lemah adalah mereka yang tidak memiliki daya atau kekuatan yang memadai untuk menghadapi kesulitan-kesulitan hidupnya. Kesulitan-kesulitan itu pada umumnya berupa kondisi sosial-ekonomi atau kesehatan yang lemah seperti yang dialami para fakir miskin, anak-anak terlantar, orang-orang sakit yang tak kunjung sembuh hingga sangat lemah keadaannya, mereka yang tak mampu bekerja karena keterbatasan fisik atau mental (kaum difabel), atau para korban bencana yang kehilangan harta benda, pekerjaan, dan mengalami gangguan fisik atau mental, serta mereka yang menjadi korban kekerasan oleh perseorangan, kelompok ataupun sistem politik atau budaya yang menyengsarakan. Mereka hidup menderita dan memerlukan kepedulian dari masyarakat berupa bantuan apa saja untuk meringankan beban hidupnya. Islam memperhatikan nasib mereka dengan menganjurkan umatnya untuk berpihak kepada mereka dengan membantu mengatasi kesulitan-kesulitan mereka.
Kita tidak sepatutnya tinggal diam terhadap mereka yang hidupnya sengsara seperti orang-orang yang hidup sebatang kara termasuk para janda miskin dan anak-anak terlantar. Upaya menghapus kesengsaraan mereka hendaknya dilakukan dengan memberinya bantuan berupa uang, makanan, barang, tenaga, pikiran atau perlindungan berupa tempat tinggal misalnya, hingga kesengsaraan mereka dapat berkurang atau terhapus sama sekali. Anak-anak terlantar yang masih usia sekolah perlu mendapat bantuan berupa kesempatan mengenyam pendidikan secara gratis atau dengan mendapatkan beasiswa. Jika kita tidak bisa melaksanakan hal tersebut secara langsung, kita dapat menyampaikan bantuan melalui lembaga-lembaga kredibel yang memiliki concern terhadap persoalan-persoalan ini seperti Baznas,, Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah, yang terakreditasi. Lembaga-lembaga seperti itu memang didirikan untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam bentuk penyaluran zakat, infaq dan sedekah.
Kita tidak sepatutnya menambah penderitaan orang-orang lemah dan fakir miskin yang dalam kehidupan sehari-harinya sudah sangat menderita. Caranya adalah dengan tidak mem-bully, tidak menyakiti, tidak menzalimi, tidak mengeksploitasi, apalagi menindas mereka. Hal ini sangat dilarang di dalam agama sebagaimana pesan Allah di dalam Al-Qur’an QS Ad-Duha ayat 9-10 sebagai berikut:
فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ
Terjemahnya : Terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” (QS ad-Duha 9-10).
Kedua ayat tersebut merupakan landasan teologis yang sangat kuat tentang larangan mem-bully, menzalimi, mengeksploitasi, apalagi menindas mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya sangat menderita baik secara fisik, psikis maupun sosial-ekonomi.
Rasululullah shallahhu ‘alaihi wa sallam menjanjikan penghargaan yang tinggi kepada siapa saja yang membela, melindungi, menyantuni dan memelihara orang-orang lemah seperti fakir miskin terutama yatim piatu sebagai berikut:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَا وأشار بالسبابة والوسطى وفرج بينهما شيئاً
Artinya:“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, Rasulullah saw. menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah serta agak merenggangkan keduanya.”(berdekatan dan tidak dipisahkan) Jadi Rasulullah telah menegaskan barang siapa berpihak kepada orang-orang lemah sebagaimana yang telah disebu, mereka akan berkumpul bersama Rasulullah kelak di akhirat di dalam surga. Hubungan mereka sangat dekat dan hampir tak berjarak karena diibaratkan bagaikan jari telunjuk dan dari jari tengah yang tak terhalang oleh apapun.
Setelah mengetahui pengertian dan beberapa kelompok yang termasuk dalam golongan kaum dhuafa, maka saatnya kita pun ikut membantu dan menolong mereka agar hidupnya lebih berdaya lewat sedekah. Ada banyak sekali keutamaan sedekah menurut Al-Quran. Hal ini seperti yang ada dalam ayat berikut,
يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَا يُنْفِقُوْنَ ۗ قُلْ مَآ اَنْفَقْتُمْ مِّنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِ ۗ وَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ بِهٖ عَلِيْمٌ
Terjemahnya :
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan”. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (QS : Al-Baqarah: 215).
Membangun keberpihakan kepada kaum dhuafa dan mustadh’afin akan selalu menjadi concern (perhatian) bagi Islam semata-mata untuk menciptakan kehidupan kemanusiaan yang damai dan aman, sebagai kelanjutan agama Islam pembawa rahmatal lil’alamin. Oleh karena itu, dakwah para nabi dan rasul diarahkan kepada dua tujuan, yakni penguatan tauhid dan membangun keberpihakan kepada kaum dhuafa. Tauhid sebagai landasan moral dan spiritual, sedangkan keberpihakan kepada dhuafa merupakan aplikasi dari ketauhidan tersebut. Intinya, tauhid yang tidak menumbuhkan sikap keberpihakan kepada kaum dhuafa adalah tidak optimal keimanannya di mata Allah Swt.
Kesungguhan Islam dalam membangun keberpihakan kepada kaum dhuafa (lemah fisik) dan mustadh’afin (terlemahklan oleh struktur), bisa dilihat dari beberapa ayat di dalam Al-Qur’an. Bahkan Islam telah menumbuhkan rasa kepedulian sosial sejak awal kehadirannya atau pada periode Mekah awal, padahal syariat zakat diturunkan pada periode Madinah. Hal tersebut bisa dilihat, salah satunya di dalam QS Al-Mudatsir ayat 38-44 :
كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ اِلَّآ اَصْحٰبَ الْيَمِيْنِ ۛ فِيْ جَنّٰتٍ ۛ يَتَسَاۤءَلُوْنَۙ عَنِ الْمُجْرِمِيْنَۙ مَا سَلَكَكُمْ فِيْ سَقَرَ قَالُوْا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّيْنَۙ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِيْنَۙ
Terjemahnya :
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, kecuali golongan kanan, berada di dalam syurga, mereka saling menanyakan, tentang orang-orang yang berdosa “apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam neraka saqor? Mereka menjawab, dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan sholat dan kami tidak juga memberikan makanan orang miskin.” (QS Al-Mudatsir 38-44).
Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan dan keberkahan rezeki, sehingga apa yang kita miliki dapat menjadi sedekah untuk kaum dhuafa. Bersedekahlah sekarang, agar menjadi magnet rezeki bagi kehidupan di dunia sekaligus bekal untuk akhirat kelak. (*)